SUARAPUBLIC - Sebanyak 14 kepala daerah tingkat kabupaten dan kota di Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng), dinilai telah melanggar hukum akibat pengembangan wilayah terkait pemanfaatan hutan tanpa persetujuan Menteri Kehutanan sesuai UU No 41 Tahun 1999 tentang kehutanan.
Pernyataan itu disampaikan Gubernur Provinsi Kalteng Agustin Teras Narang di Palangka Raya, Jumat (26/3/2010), menyikapi pernyataan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan, Darori yang akan menyelidiki ratusan ribu hektar lahan bermasalah di wilayah ini dengan melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung RI, dan Kepolisian RI.
“Saat ini Kalteng ditantang untuk segera menyelesaikan kawasan bermasalah tersebut dan kami akan menyelesaikannya, karena resikonya apabila itu terjadi maka semua perkembangan yang dilakukan kabupaten/kota dianggap telah melanggar hukum akibat semuanya bermasalah,” kata Teras.
Dia juga mengatakan, pihaknya tidak akan melakukan intervensi apapun terhadap langkah yang akan dilakukan Kementerian Kehutanan, termasuk apabila ada kepala daerah yang terjerat hukum.
Proses hukum tersebut harus terus berjalan sesuai dengan peraturan serta ketentuan yang ada, dan hal itu merupakan resiko bagi kepala daerah apabila terjerat hukum akibat permasalahan tersebut.
Sebelumnya, Teras memprotes keras kebijakan Menteri Kehutanan beberapa waktu yang lalu karena telah mengeluarkan keputusan yang dinilai berlaku surut serta merugikan Provinsi Kalteng.
Kebijakan yang diprotes Teras saat itu yakni, keputusan Badan Planologi (Baplan) Departemen Kehutanan tahun 2000 yang menyatakan berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Kalteng Nomor 8 Tahun 2003, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) setempat, bahwa wilayah perizinan yang berada di kawasan nonhutan atau KPP/KPPL tidak lagi mendapat izin dari Menteri Kehutanan (Menhut).
Keputusan tersebut berlaku selama enam tahun dan sepanjang itu juga dikeluarkan sejumlah izin perkebunan atau pertambangan tanpa persetujuan Menhut.
Namun pada tahun 2006 Menhut kembali menerbitkan surat keputusan yang mencabut bahwa ketentuan itu tidak berlaku lagi.
Disamping itu, belum selesainya RTRWP Kalteng tersebut menjadi pemicu izin yang dikeluarkan tanpa persetujuan Menhut. Hal itu disebabkan karena sejumlah daerah masih mengacu pada Perda No 8 Tahun 2003.
Karenanya, sejumlah kepala daerah masih berani mengeluarkan izin terkait permasalahan tersebut dengan dasar Perda yang berbeda dari peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang dipakai Dephut pada saat itu.
Terpisah, Bupati Kabupaten Gunung, Mas Hambit Bintih mengaku masih bingung terkait kawasan hutan maupun non hutan yang diperbolehkan untuk pengembangan investasi berdasarkan Perda Nomor 8 Tahun 2003.
Pihaknya hingga kini telah memberikan izin kepada enam perusahaan besar swasta yang telah beroperasi di wilayah Gunung Mas dengan luas kawasan yang digunakan keseluruhan mencapai 70 ribu hektar.
“Kami juga telah mengeluarkan beberapa izin untuk lahan namun hingga saat ini semuanya masih belum beroperasi karena masih menunggu selesainya RTRWP Kalteng disahkan,” kata Hambit.
Pernyataan itu disampaikan Gubernur Provinsi Kalteng Agustin Teras Narang di Palangka Raya, Jumat (26/3/2010), menyikapi pernyataan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan, Darori yang akan menyelidiki ratusan ribu hektar lahan bermasalah di wilayah ini dengan melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung RI, dan Kepolisian RI.
“Saat ini Kalteng ditantang untuk segera menyelesaikan kawasan bermasalah tersebut dan kami akan menyelesaikannya, karena resikonya apabila itu terjadi maka semua perkembangan yang dilakukan kabupaten/kota dianggap telah melanggar hukum akibat semuanya bermasalah,” kata Teras.
Dia juga mengatakan, pihaknya tidak akan melakukan intervensi apapun terhadap langkah yang akan dilakukan Kementerian Kehutanan, termasuk apabila ada kepala daerah yang terjerat hukum.
Proses hukum tersebut harus terus berjalan sesuai dengan peraturan serta ketentuan yang ada, dan hal itu merupakan resiko bagi kepala daerah apabila terjerat hukum akibat permasalahan tersebut.
Sebelumnya, Teras memprotes keras kebijakan Menteri Kehutanan beberapa waktu yang lalu karena telah mengeluarkan keputusan yang dinilai berlaku surut serta merugikan Provinsi Kalteng.
Kebijakan yang diprotes Teras saat itu yakni, keputusan Badan Planologi (Baplan) Departemen Kehutanan tahun 2000 yang menyatakan berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Kalteng Nomor 8 Tahun 2003, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) setempat, bahwa wilayah perizinan yang berada di kawasan nonhutan atau KPP/KPPL tidak lagi mendapat izin dari Menteri Kehutanan (Menhut).
Keputusan tersebut berlaku selama enam tahun dan sepanjang itu juga dikeluarkan sejumlah izin perkebunan atau pertambangan tanpa persetujuan Menhut.
Namun pada tahun 2006 Menhut kembali menerbitkan surat keputusan yang mencabut bahwa ketentuan itu tidak berlaku lagi.
Disamping itu, belum selesainya RTRWP Kalteng tersebut menjadi pemicu izin yang dikeluarkan tanpa persetujuan Menhut. Hal itu disebabkan karena sejumlah daerah masih mengacu pada Perda No 8 Tahun 2003.
Karenanya, sejumlah kepala daerah masih berani mengeluarkan izin terkait permasalahan tersebut dengan dasar Perda yang berbeda dari peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang dipakai Dephut pada saat itu.
Terpisah, Bupati Kabupaten Gunung, Mas Hambit Bintih mengaku masih bingung terkait kawasan hutan maupun non hutan yang diperbolehkan untuk pengembangan investasi berdasarkan Perda Nomor 8 Tahun 2003.
Pihaknya hingga kini telah memberikan izin kepada enam perusahaan besar swasta yang telah beroperasi di wilayah Gunung Mas dengan luas kawasan yang digunakan keseluruhan mencapai 70 ribu hektar.
“Kami juga telah mengeluarkan beberapa izin untuk lahan namun hingga saat ini semuanya masih belum beroperasi karena masih menunggu selesainya RTRWP Kalteng disahkan,” kata Hambit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar