Untuk kesekian kali, kebebasan pers dirongrong lewat gugatan hukum. Seorang tersangka kasus perjudian telah menggugat tujuh media sekaligus karena merasa nama baiknya dicemarkan.
Gugatan yang ditangani oleh empat pengadilan negeri di Jakarta ini tak hanya salah kaprah, tapi juga mengancam kehidupan demokrasi.
Semua orang jelas berhak mengontrol pers, bahkan menggugatnya. Tapi langkah Raymond Teddy, tersangka kasus perjudian di Hotel Sultan yang dibongkar polisi pada 2008, sungguh tidak wajar.
Ia menggugat tujuh media--Kompas, Republika, RCTI, Seputar Indonesia, Suara Pembaruan, Warta Kota, Detik.com--hanya karena mereka menyiarkan namanya sebagai tersangka. Padahal semua media ini mengutip keterangan resmi yang disampaikan oleh polisi.
Boleh saja Raymond merasa disudutkan, namun seharusnya ia juga memahami fungsi pers yang melayani kepentingan masyarakat luas. Judi jelas tindak kriminal. Media massa wajib mendukung tindakan kepolisian yang hendak memberantas kejahatan dengan memuatnya sebagai berita.
Toh, jika Raymond benar-benar dirugikan oleh pemberitaan, ia bisa menggunakan hak jawab seperti yang diatur Undang-Undang Pers. Ia bisa membeberkan kejadian itu sesuai dengan versinya, bahkan membela diri lewat pers.
Itulah bentuk penyelesaian yang umum dipakai di banyak negara demokrasi. Prinsipnya: kata dibalas dengan kata, tulisan dibalas dengan tulisan. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun pernah memakai hak jawab di media massa ketika merasa dirugikan oleh pemberitaan.
Menggugat ke pengadilan dengan menggunakan pasal penghinaan atau pencemaran nama baik amat berlebihan. Bukan hanya karena delik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini sudah ketinggalan zaman dan seharusnya tak digunakan lagi, tapi juga membahayakan bagi kebebasan pers.
Dalam kasus Raymond, khalayak juga akan bertanya-tanya karena keterangan resmi dari instansi penegak hukum tak bisa jadi pegangan, bahkan justru digunakan sebagai alasan menggugat media.
Pemberitaan tujuh media itu jelas berasal dari jumpa pers kepolisian, yang telah menggerebek perjudian di kamar 296 Hotel Sultan pada 27 Oktober 2008 dan menangkap 27 pelaku judi. Hingga sekarang pun, menurut polisi, status Raymond masih tersangka.
Penyebutan nama tersangka secara lengkap juga tidak menyalahi kode etik jurnalistik. Pers hanya perlu menyembunyikan identitas seseorang jika ia korban kejahatan tertentu, seperti pemerkosaan.
Lembaga penegak hukum, seperti kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi, pun lazim menyebutkan nama tersangka secara lengkap. Jika mengikuti logika penggugat, instansi penegak hukum dan media massa bisa digugat karena dianggap mencemarkan nama baik.
Di sinilah pentingnya Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum turun tangan. Polisi dan jaksa perlu didorong untuk segera menuntaskan kasus perjudian di Hotel Sultan, yang kini terkatung-katung. Satgas mesti pula memastikan bahwa para hakim yang menangani gugatan Raymond terhadap media tidak membuat putusan yang janggal dan mengancam kebebasan pers. Sumber : Tempo Interaktif
Gugatan yang ditangani oleh empat pengadilan negeri di Jakarta ini tak hanya salah kaprah, tapi juga mengancam kehidupan demokrasi.
Semua orang jelas berhak mengontrol pers, bahkan menggugatnya. Tapi langkah Raymond Teddy, tersangka kasus perjudian di Hotel Sultan yang dibongkar polisi pada 2008, sungguh tidak wajar.
Ia menggugat tujuh media--Kompas, Republika, RCTI, Seputar Indonesia, Suara Pembaruan, Warta Kota, Detik.com--hanya karena mereka menyiarkan namanya sebagai tersangka. Padahal semua media ini mengutip keterangan resmi yang disampaikan oleh polisi.
Boleh saja Raymond merasa disudutkan, namun seharusnya ia juga memahami fungsi pers yang melayani kepentingan masyarakat luas. Judi jelas tindak kriminal. Media massa wajib mendukung tindakan kepolisian yang hendak memberantas kejahatan dengan memuatnya sebagai berita.
Toh, jika Raymond benar-benar dirugikan oleh pemberitaan, ia bisa menggunakan hak jawab seperti yang diatur Undang-Undang Pers. Ia bisa membeberkan kejadian itu sesuai dengan versinya, bahkan membela diri lewat pers.
Itulah bentuk penyelesaian yang umum dipakai di banyak negara demokrasi. Prinsipnya: kata dibalas dengan kata, tulisan dibalas dengan tulisan. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun pernah memakai hak jawab di media massa ketika merasa dirugikan oleh pemberitaan.
Menggugat ke pengadilan dengan menggunakan pasal penghinaan atau pencemaran nama baik amat berlebihan. Bukan hanya karena delik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini sudah ketinggalan zaman dan seharusnya tak digunakan lagi, tapi juga membahayakan bagi kebebasan pers.
Dalam kasus Raymond, khalayak juga akan bertanya-tanya karena keterangan resmi dari instansi penegak hukum tak bisa jadi pegangan, bahkan justru digunakan sebagai alasan menggugat media.
Pemberitaan tujuh media itu jelas berasal dari jumpa pers kepolisian, yang telah menggerebek perjudian di kamar 296 Hotel Sultan pada 27 Oktober 2008 dan menangkap 27 pelaku judi. Hingga sekarang pun, menurut polisi, status Raymond masih tersangka.
Penyebutan nama tersangka secara lengkap juga tidak menyalahi kode etik jurnalistik. Pers hanya perlu menyembunyikan identitas seseorang jika ia korban kejahatan tertentu, seperti pemerkosaan.
Lembaga penegak hukum, seperti kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi, pun lazim menyebutkan nama tersangka secara lengkap. Jika mengikuti logika penggugat, instansi penegak hukum dan media massa bisa digugat karena dianggap mencemarkan nama baik.
Di sinilah pentingnya Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum turun tangan. Polisi dan jaksa perlu didorong untuk segera menuntaskan kasus perjudian di Hotel Sultan, yang kini terkatung-katung. Satgas mesti pula memastikan bahwa para hakim yang menangani gugatan Raymond terhadap media tidak membuat putusan yang janggal dan mengancam kebebasan pers. Sumber : Tempo Interaktif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar