Pemerintah tidak boleh menganggap enteng turunnya tingkat kelulusan siswa sekolah menengah atas tahun ini. Kalau kita percaya keandalan ujian nasional sebagai tolok ukur, fenomena ini jelas menunjukkan merosotnya mutu pendidikan. Masih banyaknya sekolah yang seluruh siswanya gagal juga mencerminkan bahwa kualitas pengajaran belum merata.
Siswa sekolah menengah atas yang lulus tahun ini hanya 89,88 persen, melorot lumayan jauh dibanding tahun lalu yang mencapai 93,74 persen. Bahkan ada 267 sekolah yang gagal total karena seluruh siswanya tidak lulus. Di Kalimantan Timur, misalnya, ada 39 sekolah yang memiliki tingkat kelulusan nol persen. Sejumlah sekolah di Jawa Tengah dan Sulawesi Utara juga bernasib sama.
Dilihat dari rata-rata persentase ketidaklulusan, angka di Kalimantan Timur memang termasuk tinggi, yakni 30 persen.Kendati begitu, sejumlah provinsi memiliki tingkat kegagalan lebih tinggi. Misalnya,Kalimantan Tengah mempunyai angka ketidaklulusan 39 persen, Maluku Utara 41 persen, Nusa Tenggara Timur 52,8 persen, dan Gorontalo 53 persen.
Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh menyebutkan sejumlah penyebab turunnya prestasi itu. Di antaranya, proses belajar-mengajar yang tidak maksimal, rendahnya kesadaran murid dan infrastruktur, serta sarana-prasarana yang kurang memadai. Pengakuan Pak Menteri ini jelas menunjukkan bahwa pemerintah belum berhasil meningkatkan kualitas pendidikan.
Padahal itulah yang diperintahkan oleh pengadilan ketika memutuskan gugatan publik terhadap ujian nasional. Putusan ini kemudian diperkuat oleh vonis Mahkamah Agung tahun lalu. Intinya, pemerintah diminta meningkatkan sarana dan prasarana sekolah di seluruh Indonesia sebelum melaksanakan ujian nasional. Pemerintah juga diperintahkan melakukan langkah konkret untuk mengatasi gangguan psikologis para siswa yang tidak lulus ujian.
Kewajiban itu rupanya tidak dijalankan sungguhsungguh. Sejauh ini yang dilakukan pemerintah hanyalah memperketat pengawasan pelaksanaan ujian nasional. Birokrasi pemerintah telah mengerahkan pengawas hingga jutaan orang, termasuk dari anggota kepolisian. Juga dilakukan penandatanganan Fakta Kejujuran antara Kementerian Pendidikan Nasional dan 33 pemerintah provinsi guna menjamin ujian nasional terlaksana secara jujur.
Langkah itu tak berkaitan langsung dengan kepentingan siswa dan upaya meningkatkan sekaligus meratakan kualitas pendidikan.Kegagalan pemerintah dalam membenahi pendidikan semakin berbahaya karena diikuti dengan sikap yang nekat menggelar proyek ujian nasional. Ini hanya semakin menggarisbawahi ketidakadilan. Soalnya, siswa-siswa yang belajar di sekolah yang tertinggal tetap kewalahan memburu kelulusan.
Beda halnya jika ujian nasional hanya sebagai tolok ukur mutu pendidikan, dan bukan sebagai penentu kelulusan. Usulan ini perlu dipertimbangkan lagi karena pemerintah tetap belum mampu meratakan mutu pendidikan. Rasa keadilan tidak akan tercederai jika ujian nasional diubah fungsinya. Sumber : Tempo Interaktif
Siswa sekolah menengah atas yang lulus tahun ini hanya 89,88 persen, melorot lumayan jauh dibanding tahun lalu yang mencapai 93,74 persen. Bahkan ada 267 sekolah yang gagal total karena seluruh siswanya tidak lulus. Di Kalimantan Timur, misalnya, ada 39 sekolah yang memiliki tingkat kelulusan nol persen. Sejumlah sekolah di Jawa Tengah dan Sulawesi Utara juga bernasib sama.
Dilihat dari rata-rata persentase ketidaklulusan, angka di Kalimantan Timur memang termasuk tinggi, yakni 30 persen.Kendati begitu, sejumlah provinsi memiliki tingkat kegagalan lebih tinggi. Misalnya,Kalimantan Tengah mempunyai angka ketidaklulusan 39 persen, Maluku Utara 41 persen, Nusa Tenggara Timur 52,8 persen, dan Gorontalo 53 persen.
Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh menyebutkan sejumlah penyebab turunnya prestasi itu. Di antaranya, proses belajar-mengajar yang tidak maksimal, rendahnya kesadaran murid dan infrastruktur, serta sarana-prasarana yang kurang memadai. Pengakuan Pak Menteri ini jelas menunjukkan bahwa pemerintah belum berhasil meningkatkan kualitas pendidikan.
Padahal itulah yang diperintahkan oleh pengadilan ketika memutuskan gugatan publik terhadap ujian nasional. Putusan ini kemudian diperkuat oleh vonis Mahkamah Agung tahun lalu. Intinya, pemerintah diminta meningkatkan sarana dan prasarana sekolah di seluruh Indonesia sebelum melaksanakan ujian nasional. Pemerintah juga diperintahkan melakukan langkah konkret untuk mengatasi gangguan psikologis para siswa yang tidak lulus ujian.
Kewajiban itu rupanya tidak dijalankan sungguhsungguh. Sejauh ini yang dilakukan pemerintah hanyalah memperketat pengawasan pelaksanaan ujian nasional. Birokrasi pemerintah telah mengerahkan pengawas hingga jutaan orang, termasuk dari anggota kepolisian. Juga dilakukan penandatanganan Fakta Kejujuran antara Kementerian Pendidikan Nasional dan 33 pemerintah provinsi guna menjamin ujian nasional terlaksana secara jujur.
Langkah itu tak berkaitan langsung dengan kepentingan siswa dan upaya meningkatkan sekaligus meratakan kualitas pendidikan.Kegagalan pemerintah dalam membenahi pendidikan semakin berbahaya karena diikuti dengan sikap yang nekat menggelar proyek ujian nasional. Ini hanya semakin menggarisbawahi ketidakadilan. Soalnya, siswa-siswa yang belajar di sekolah yang tertinggal tetap kewalahan memburu kelulusan.
Beda halnya jika ujian nasional hanya sebagai tolok ukur mutu pendidikan, dan bukan sebagai penentu kelulusan. Usulan ini perlu dipertimbangkan lagi karena pemerintah tetap belum mampu meratakan mutu pendidikan. Rasa keadilan tidak akan tercederai jika ujian nasional diubah fungsinya. Sumber : Tempo Interaktif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar