SUARAPUBLIC.COM – Puluhan sopir truk yang melayani angkutan tandan buah segar (TBS) di lokasi kebun plasma PT Gemareksa Mekarsari, Kabupaten Lamandau, melakukan unjuk rasa menuntut kenaikan upah angkut.
Unjuk rasa dilakukan di sekitar Kantor Koperasi Unit Desa (KUD) Mitra Usaha, Desa Argamulya, Trans E, Kecamatan Bulik, kemarin. KUD Mitra Usaha adalah koperasi yang mengelola kebun plasma milik para petani sawit di SKP Trans E.
Andre (28) salah seorang sopir truk mengaku, aksi unjuk rasa terpaksa dilakukan sebab permintaan kenaikan upah angkut yang mereka sampaikan tidak pernah digubris oleh pihak koperasi. Kenaikan upah angkut sudah tidak bisa ditawar lagi guna mengimbangi biaya operasional yang kian membengkak.
"Adanya larangan bagi kami melintasi jalan dalam Kota Nanga Bulik--ibu kota Kabupaten Lamandau--, mengharuskan kami memutar lewat jalan negara. Ini otomatis memperpanjang jarak tempuh menuju pabrik yang berlokasi di Mentajai," kata Andre.
Kondisi demikian, mengakibatkan pembengkakan biaya operasional. Khususnya operasional kendaraan, karena harus memutar lewat jalan negara, konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bertambah nyaris dua kali lipat.
Dengan alasan ini, para sopir kemudian mengajukan tuntutan kenaikan upah angkut kepada pengurus koperasi, dari yang semula Rp90 ribu per ton menjadi Rp120 ribu per ton.Untuk memuluskan tuntutan tersebut, para sopir pun melakukan aksi mogok kerja sejak kemarin. "Kami (para sopir) sudah bersepakat untuk tidak mengangkut hasil panen kelapa sawit hingga tuntutan kami dikabulkan,” demikian antara lain bunyi tuntutan tertulis para sopir tersebut.(*)
Unjuk rasa dilakukan di sekitar Kantor Koperasi Unit Desa (KUD) Mitra Usaha, Desa Argamulya, Trans E, Kecamatan Bulik, kemarin. KUD Mitra Usaha adalah koperasi yang mengelola kebun plasma milik para petani sawit di SKP Trans E.
Andre (28) salah seorang sopir truk mengaku, aksi unjuk rasa terpaksa dilakukan sebab permintaan kenaikan upah angkut yang mereka sampaikan tidak pernah digubris oleh pihak koperasi. Kenaikan upah angkut sudah tidak bisa ditawar lagi guna mengimbangi biaya operasional yang kian membengkak.
"Adanya larangan bagi kami melintasi jalan dalam Kota Nanga Bulik--ibu kota Kabupaten Lamandau--, mengharuskan kami memutar lewat jalan negara. Ini otomatis memperpanjang jarak tempuh menuju pabrik yang berlokasi di Mentajai," kata Andre.
Kondisi demikian, mengakibatkan pembengkakan biaya operasional. Khususnya operasional kendaraan, karena harus memutar lewat jalan negara, konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bertambah nyaris dua kali lipat.
Dengan alasan ini, para sopir kemudian mengajukan tuntutan kenaikan upah angkut kepada pengurus koperasi, dari yang semula Rp90 ribu per ton menjadi Rp120 ribu per ton.Untuk memuluskan tuntutan tersebut, para sopir pun melakukan aksi mogok kerja sejak kemarin. "Kami (para sopir) sudah bersepakat untuk tidak mengangkut hasil panen kelapa sawit hingga tuntutan kami dikabulkan,” demikian antara lain bunyi tuntutan tertulis para sopir tersebut.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar