google.com, pub-5013500952012613, DIRECT, f08c47fec0942fa0
☆BreakingNews >
Home » , » Membaca Angka Laju Pembangunan Barito Utara (Bagian Tiga)

Membaca Angka Laju Pembangunan Barito Utara (Bagian Tiga)

| Diposting : Kamis, 23 Mei 2013 | Pukul : 22.11.00 |

Sedimentasi Kehidupan Masyarakat Barut 
Oleh: Basyori Saini 

Pulang ke Muara Teweh adalah kerinduanku yang tak pernah berakhir, 416 km jarak tempuh dan 10 jam terpaku di belakang setir tidak terasa lama dan menjemukan. Melintasi kota dan desa di sepanjang jalan antara Banjarmasin dan Muara Teweh seperti menuntunku melintasi kenangan indah yang berakhir manis. 

Muara Teweh sungguh sebuah prasasti yang terukir di sanubariku……selamanya. Hampir Sembilan jam perjalanan ku tempuh, tak terasa Jembatan Hasan Basri yang gagah perkasa sudah berada di hadapan mata, tulang-tulang besi jembatan seolah gapura selamat datang, menyambutku dengan gayanya yang khas. Tenang, diam, dingin, tanpa ekspresi namun menyiratkan kekuatan. 

Sungai Barito di bawahnya mengalirkan air keruh, agak tersendat aliranya di atas bebatuan dan lumpur serta sampah kayu yang hanyut dari hulu. Beban itu belum selesai, deretan lanting di sepanjang sungai turut menambah beban sungai yang sudah tampak sangat tua. Lebih tua dari umurku sekarang, bahkan nenek moyang ku sendiri. Keletihan sungai menopang kehidupan warganya semakin jelas di bagian hilir, alirannya semakin lambat dan semakin mengecil. 

Deburan ombak yang dulu selalu terdengar, kini sunyi, seolah mengisyaratkan keletihan yang luar biasa. Kenangan masa kecil menyelinap satu demi satu dalam lamunan, dulu semasa SD aku selalu berenang di Sungai Barito bersama teman-temanku. Meskipun agak jauh dari rumah, aku selalu mencuri kesempatan untuk berenang di sungai Barito. 

Melompat dari atas jembatan Butong dengan gaya bebas seolah menjadi stempel atau pengukuhan bahwa aku sudah syah dan boleh bergabung dengan teman-teman lain. Meskipun ada juga yang takut untuk melakukannya dan memilih termenung menyaksikan teman-teman terbang di ketinggian 5 meter dan jatuh di atas air sungai Barito. 

Tepukan riuh selalu mengiringi apabila ada teman yang berhasil terjun dengan gaya yang elok, sebaliknya cibiran melanda ketika ada teman yang terjun tanpa menunjukkan gaya atau atraksi yang memukau. Sejujurnya terjun dari ketinggian 5 meteran dari Jembatan Butong memang bukan urusan yang sepele. Seorang teman bahkan telah menjadi korban, meninggal di sungai karena jatuh dengan posisi yang salah. Dadanya membentur tepi sungai yang penuh dengan bebatuan, akhirnya sang teman tersebut merenggang nyawa. 

Namun sorak sorai dan pujian telah menyempitkan nalar dan terjun bebas dari jembatan seolah menjadi menu wajib bagi ku dan teman-teman setiap sore. Terjun bebas adalah kelas nol kecil bagi pergaulan petualangan kami, kelas nol besarnya adalah berenang menyeberangi sungai Barito. Sementara anak bawang bermain lungsuran lumpur di pinggir sungai. 

Berbugil ria bergumul lumpur dan menceburkan diri ke air yang tidak kalah kotornya. Resiko terparah dari lungsuran lumpur ini adalah luka sayatan dari benda-benda keras yang tertanam di tanah. Bisa beling, paku, serpihan kayu ulin dan sebagainya. Pantat robek, kaki luka adalah hasil sampingan dari kegiatan ini. Hasil yang lebih mengerikan adalah digigit buntal, yang selalu mengintai di dalam air. 

Air yang awalnya keruh tiba-tiba berwarna merah darah, rasa perih pun segera mendera, dan tak lama teriakan kesakitan segera terdengar dengan kerasnya. Jari kaki atau telapak kaki biasanya yang diserang, namun salah satu teman malah kehilangan burung pipit kebanggaanya. Desa Jingah atau Kampung Jambu adalah tujuan kami, berenang secara berkelompok dengan gaya masing-masing. Ada yang gaya dada, gaya kupu-kupu, kombinasi sambil menyelam dan atau gaya bebas. 

Ada satu batu yang menjadi tempat kami istirahat apabila terasa letih, batu di tengah Sungai Barito yang seukuran pos kamling itu seolah gagah perkasa, tidak bergeser barang sesenti pun di tengah arus Sungai Barito yang terkenal galak. Kami selalu duduk di batu tersebut dengan badan menggigil kedinginan, mata merah dan bibir kelu. Sekali kali sambil menyeka air di wajah dan setelah semua terkumpul perjalanan pun dilanjutkan. 

Berenang menyeberang sungai Barito pun tidak kalah ngerinya, bahkan satu teman kami hilang setelah dua kali berenang pulang pergi. Sungai Barito yang terkenal dengan arus bawahnya itu membawa teman kami selama berhari-hari dan mengembalikannya setelah tak bernyawa lagi. Tragis memang, tapi hal itu tidak menyurutkan niat kami untuk terus mengarungi Sungai Barito, menguji nyali untuk mendapatkan pengakuan kelompok. 

Petualangan lain yang sering kami lakukan bersama teman-teman adalah bermain bola ke desa lain di sepanjang Sungai Barito. Dengan menggunakan jukung aku dan teman-teman menyerang desa lain dalam permainan bola. Kegiatan seperti ini rutin kami lakukan jika libur sekolah tiba, tak peduli teriakan orang tua di rumah yang selalu kuwatir atas apa yang kami lakukan. 

Bermain bola dan mencari buah di hutan adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Tidak heran kalau badan kami hitam legam terpanggang matahari, badan kerempeng karena tidak jelas apa yang dimakan. Namun paling tidak, apa yang kami lakukan adalah panduan alamiah tubuh dan kehidupan serta lingkungan, bahwa inilah cara kami bertahan, mengisi hidup dan menempa diri agar lolos dari seleksi alam yang kadang tidak ramah. 

Tidak berdaya adalah bahasa tubuh yang menyiratkan orang lain untuk mendahului langkah kita, menggilas kita, mengucapkan selamat tinggal pada kesempatan yang telah hilang diambil orang. Begitulah kehidupan, kadangkala mirip seperti sungai. Kalau sungai membawa beban sampah, lumpur, batu, pasir dan sampah lain. 

Demikian halnya dengan kehidupan kami di Muara Teweh, sedimen kehidupan itu memang bukan berupa sampah mati yang terongok di pinggir-pinggir sungai, bukan pula pasir dan batu yang bisa dipindah buang semau orang. Sedimentasi kehidupan itu berupa kumpulan orang-orang yang secara sistematis menjadi tidak berdaya, apatis dan terjebak pada rutinitas stagnan yang berlangsung secara terus menerus. 

Sedimentasi itu juga bisa berupa kumpulan orang yang tidak terjamah baiknya kebijakan pemerintah yang berkuasa. Bahkan sedimentasi kehidupan itu bisa berupa kumpulan orang-orang yang akhirnya memilih menjadi maling ayam, jemuran, makanan, dan hal-hal lain yang seharusnya tidak dia ambil. Kasat mata dan bisa kita temukan disekitar Muara Teweh, bahkan mungkin tidak jauh dari pusat pemerintahan kita. 

Sementara itu, sekolompok lain dengan senangnya menari-nari menikmati kekuasaan dan materi di atas penderitaan kelompok yang lain. Sedimentasi kehidupan itu dalam bentuk sederhana dan jamak kita sebut dengan kemiskinan. Mereka seolah-olah sedang berada di atas kapal mewah yang penuh dengan fasilitas yang memanjakan, melaju di atas air dan menimbulkan riak gelombang yang bisa menghempaskan yang lain. 

Beberapa waktu yang lalu saya membuktikannya sendiri, Ates, teman saya waktu SD tanpa sengaja saya jumpai di pinggir jalan arah ke Sungai Rapen. Penasaran karena lama tidak berjumpa, saya memaksanya untuk membiarkan saya mengantarkan dia pulang ke rumahnya di dalam Sungai Rapen. Sungguh miris dan menitikan air mata menyaksikan apa yang saya temui. 

Rumah gubuk beratap kajang, bersekat satu dengan kamar, dihuni oleh 6 orang beserta anak-anaknya yang empat orang. Tidak ada perabot mahal di rumah itu, piring plastic, gelas plastic, dapuran dari tanah, kelambu lusuh dan tilam kumal tergulung dipojok kamar. Anak-anaknya terlihat menikmati makan siang, nasi dan kuah mie instan tanpa lauk. 

Kulit buah binturung, tarap, ciwadak banyu dan beberapa buah lokal berserakan di lantai rumah yang merangkap dapur. Anjing dan babi bermain-main di bawah kolong rumah, mengais apapun yang masih bisa dimakan. Sementara istri Ates mengemasi daun singkong yang akan dijual besok harinya. Mata kami bertatapan, sedih dan saya tak sanggup berlama-lama dirumah teman saya ini. 

Bukan risih atau alasan lain, tapi hanya rasa gundah yang tak terperi menyaksikan teman sepermainan masih harus hidup dalam kondisi seperti ini. Senyum getir terukir diwajah Ates, segetir nasibnya yang harus menghidupi empat anaknya tanpa ada jaminan, dengan apa hal itu akan ditunaikan. Ates termenung, sulit mengatakan apa yang ada dalam hatinya. 

Saya tau, dia minder bertemu saya karena perbedaan yang sangat mencolok. Saya tidak habis pikir akan kondisi ini, 67 tahun merdeka dari penjajahan Belanda ternyata tidak menjamin semua masyarakat kita merdeka dari ketertindasan secara ekonomi dan sosial. Ates adalah salah satu contohnya. 

Ates adalah salah satu produk sedimentasi kehidupan, ketidakmampuannya bertahan di tengah arus kehidupan yang demikian keras, memaksanya menepi, berpegang pada ranting pohon kecil sekedar untuk bertahan. Tidak ada harapan ada kapal atau perahu yang akan datang untuk menolongnya sekedar menghela nafas atau memberinya makanan. Semua harus dicarinya sendiri, dengan kaki tangannya, dengan semangatnya yang hampir padam. Tapi dia tetap bertahan, mencoba mengumpulan tenaga untuk dapat berenang menepi, mencari pijakan yang dapat menopang beban hidupnya yang semakin berat. 

Aku seolah-olah duduk di kapal mewah, sementara teman sepermainanku hampir tenggelam karena diterpa ombak dari kapal yang kutumpangi. Aku hanya bisa melambaikan tangan, seraya terus bergerak cepat meningglkannya yang hampir putus napas karena ombak yang demikian besar. Aku hanya termenung, menganalisa keadaan dan bingung harus memutuskan apa. 

Aku harus melompat dari kapal ini, mengulurkan tangan untuk meraih sahabat yang hampir tenggelam, memberikanya semangat bahwa dia tidak sendiri. Masih banyak pilihan untuk bertahan, mungkin tidak harus naik kapal mewah, jukung atau sebatang kayu besar pun kadang kala sudah cukup untuk bertahan. Karena kehidupan ini memang kita yang menjalani, kita yang harus tentukan mau jadi apa kita. 

Tapi sedimentasi kehidupan juga memberikan pelajaran yang sangat berharga, bahwa sungai memiliki arus adalah kenyataan, bahwa arus sungai mampu membawa sampah dan ikan mati ke tempat-tempat yang tidak seharusnya pun satu kenyataan. 

Namun prinsip yang harus dipegang adalah HANYA SAMPAH DAN IKAN MATI YANG IKUT ARUS, sementara ikan yang hidup di sungai akan menentukan jalan dan arah hidupnya, walaupun hanya dengan dua sirip dan ekor. Ates mungkin berbahagia karena dia bukan Sampah dan ikan mati, yang ikut saja kemana arus membawa. Sementara para penumpang yang duduk di atas kapal mewah penuh dengan kenikmatan, bisa jadi merupakan sampah yang sesungguhnya.(habis)     

Penulis adalah Community Development Specialist, 
bekerja di PT.Cokal Indonesia.


Terkait:
  1. Membaca Angka Laju Pembangunan Barito Utara (Bagian Kedua)
  2. Membaca Angka Laju Pembangunan Barito Utara (Bagian Pertama)

Bagikan artikel ini :

Tidak ada komentar:

 
Hak Cipta© 2009-2016. Mardedi H Andalus | Semua hak dilindungi undang-undang.
Link: Facebook.com | Support: Creating Website | Blogger