google.com, pub-5013500952012613, DIRECT, f08c47fec0942fa0
☆BreakingNews >
Home » , , » Membaca Angka Laju Pembangunan Barito Utara (Bagian Kedua)

Membaca Angka Laju Pembangunan Barito Utara (Bagian Kedua)

| Diposting : Kamis, 23 Mei 2013 | Pukul : 21.49.00 |

Membuka Lahan, Merintis Hidup
 Oleh: Basyori Saini

Saya masing ingat waktu sekolah di SD Inpres Mankusari di Muara Teweh, dalam setahun pelajaran kami punya 4 kali libur besar. Dua kali adalah libur resmi, yakni bagi raport kenaikan kelas dan libur bulan puasa. Dua bulan penuh kami merdeka dari segala aktivitas yang berbau sekolah. Selama itu juga buku kami tinggalkan, kapur tulis, upacara bendera, penghapus yang membuat kami sesak nafas, kerlingan mata ibu guru yang kadang terlihat halak, teriakan bapak guru yang kehabisan akal karena kenakalan kami. 

Bermacam pelajaran berganti denan rutinitas bermain, layangan, perang-perangan dengan senapan bambu kecil berpeluru kertas koran basah, congkaleng, balogo, mandi di sungai Barito, menggalas benang layang layang, mencari buah di hutan, berburu burung dengan ketapel, main ambungan, kelereng, babatisan dan kadang kala mencari tambahan uang jajan sebagai buruh lepas mengupas rotan. Yang terakhir ini bukanlah bentuk rekreasi, karena sejatinya ini adalah pekerjaan maha berat buat anak-anak seumur saya waktu itu. Bayangkan saja untuk mengupas rotan seukuran jempol orang dewasa dengan panjang hanpir 10 meter, upahnya hanya 50 rupiah. Sedangkan rotan yang lebih kecil yang disebut rotan irit, upahnya hanya 25 rupiah. 

Mau pilih yang mana? Pilihan yang pelik, karena resikonya adalah luka-luka di tangan dan telapak tangan. Namun demikian, kadang kala pekerjaan ini harus dijalani, demi mendapatkan uang untuk membeli sepatu baru saat masuk sekolah nanti. Kebanggaan memiliki sepatu batu telah mengecilkan rasa sakit akibat duri rotan yang tertancap di tangan, telapak tangan dan kadang kaki. Besok pagi hari setelah bangun pagi, baru terasa sekujur tangan bengkak meradang, sakit untuk beraktivitas. Namun alam selalu menyediakan obat-obatan secara gratis. Obat bius saja yang tidak tersedia. Dengan diolesi getah dari beberapa pohon tertentu, lunaslah rasa sakit dan bengkak yang ada.

Bagi anak-anak orang kaya mereka pergi liburan ke Banjarmasin atau ke tempat lain. Saya sebagai anak pendatang yang hidup dibawah garis pas-pasan (beda tipis dengan miskin) harus puas mengisi liburan dengan piknik di hutan atau bermain dengan teman-teman lain yang senasib. Saya pernah membayangkan liburan ke Banjarmasin dengan naik kapal kayu besar yang ada TV di dalamnya, makan dan minum di buritan kapal sambil melihat kampung-kampung lanting yang berjajar di sepanjang sungai Barito. Dibuai angin sungai yang menebarkan wangi segar air pegunungan, wangi bunga-bungaan di hutan, semerbak buah binturung, kueni, tarap, asam putar dan durian yang pada saat musimnya datang, bergelantungan di pohon-pohon sepanjang sungai barito. Sebuah mimpi besar yang nggak tau kapan akan terwujud.

Jenis libur yang berikutnya adalah libur tidak resmi. Tiba-tiba saja kelas menjadi kosong, murid yang jumlah aslinya mencapai 30 – 40 orang, tiba-tiba tinggal 10 atau 15 orang. Guru-guru kaget, melempar pandangan dengan curiga dan bertanya, kemana teman-teman pergi? Kami langsung menjawab dengan kompak: Menugal paaaaaakkkkkkkkkk!! Demikian jawaban teman-teman. Atau jawaban yang satu lagi adalah : Mengatam paaaaaakkkkkk!!. Bapak dan Ibu Guru biasanya langsung paham, duduk di kursi dan dengan sedikit malas membuka buku pelajaran yang penuh dengan debu kapur warna putih. Memandang kelas yang seperti ular tangga, murid duduk menyebar secara tidak merata.

Ada juga guru yang menyikapi jawaban kami dengan sedikit emosi, mengutuk murid yang memilih menugal daripada sekolah, lebih memilih mengatam daripada sekolah. Padahal menugal dan mengatam adalah pekerjaan orang dewasa. Kalau pun anak-anak ikut paling kerjanya cuma bermain-main, berburu binatang kecil-kecil di hutan yang baru dibuka untuk berladang atau memancing ikan di sungai yang jernih bak kaca. Tapi itulah kenyataan, menebang pohon, membuka lahan, membakar ladang, menugal dan mengatam adalah rutinitas yang tidak bisa dihilangkan.

Anak mana yang sanggup mengayunkan tugal yang terbuat dari kayu bulat sebesar betis orang dewasa dengan panjang sekitar dua meter? Mana tahan? Atau mengatam, memotong untaian padi yang tingginya hampir sedada orang dewasa sambil membawa lanjung untuk tempat padi yang telah dikatam? Mana tahan.

Tapi itulah realta social yang sudah turun temurun dilaksanakan, sehingga menjadi sebuah nilai baku ditingkat komunitas. Seolah ada yang kurang kalau tidak membuka ladang, seolah tidak syah hidup kalau tidak membakar ladang, seolah tercerabut dari alam kalau tugal tidak tidak terpakai, seolah ada yang hilang kalau tidak ngumpul di gunung dengan kerabat dan handai taulan “mendirik, meneweng, mamanduk, mauri petak”. Ritual menugal adalah merupakan kewajiban budaya, yang rutin dilakukan dari tahun ke tahun. Dengan menugal, warga menunaikan kewajibannya menjaga petak lebu, memastikan bahwa keamanan kampung tetap terjaga, dengen memberi tanda pada tanah dan kebun berupa pondok dan tanaman.

Seorang teman bernama Turiseli yang ayah seorang demang di Desa Jingah, menceritakan awal mula kegiatan menugal pada jaman dahulu. Menurut beliau, menugal adalah gabungan kegiatan budaya dan pertanian yang dibungkus dalam satu kegiatan bersama. Pada jaman dahulu kegiatan menugal identik dengan upacara keagamaan bagi warga Kaharingan. Ada ritual tertentu yang harus dilaksanakan sebagai bentuk permohonan dan ucapan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas panen yang melimpah seraya berharap agar tahun ini diberikan hasil panen yang yang lebih baik serta kedamaian bagi seluruh masyarakat. Menugal juga merupakan bentuk tanggung jawab warga terhadap keamanan kampung, sehingga tidak jarang masyarakat harus berjalan berhari-hari untuk mencapai batas kampung dan berjumpa dengan warga lain dari desa yang lain. 


Tidak ada ukuran dan batas yang jelas, namun kearifan local telah memandu mereka untuk saling menghormati dan menghargai batas masing-masing desa. Sungai, pohon besar, tempat keramat, riam di sungai, dan pertanda fisik lain sering dijadikan acuan untuk menentukan tapal batas suatu desa. Kegiatan ini terus berlangsung, secara turun temurun. Ayah mengajak anaknya berladang untuk memberi tahu bahwa disinilah tempat kita, tapal batas desa kita, tanah leluhur kita, karena hakikatnya tanah yang ada adalah warisan dari nenak moyang yang telah bertani sejak jaman dahulu kala.

Itu sebabnya menurut Pak Martinus Satu, Demang Siang Timur di Puruk Cahu, secara personal orang dayak tidak memiliki tanah yang dapat dimiliki secara pribadi. Namun tanah yang ada adalah tanah ulayat yang dikelola oleh satu rumpun keluarga secara turun temurun. Inilah bentuk kearifan lokal yang kini semakin terkoyak.

Negara dengan kekuasaan yang dimilikinya kadang kala membuat masyarakat menjadi asing di kampungnya sendiri. Model penguasaan hutan yang sentralistik menyebabkan masyarakat kadang kala diposisikan sebagai perusak hutan, dicurigai, bahkan kadang kala ditangkap dan dibawa ke pengadilan karena melakukan rutinitas mereka. Ayah seorang teman tidak habis pikir ketika kebun karet yang telah diusakan selama berpuluh-puluh tahun tiba-tiba masuk dalam kawasan hutan lindung. Polisi hutan mendatangi rumahnya dan menyampaikan perihal status kebun karetnya yang masuk dalam kawasan hutan, terpaku, bingung dan tak berdaya. Itulah yang dirasakannya.

Peraturan pemerintah kadangkala seperti pagar tembok tinggi, meskipun tidak kasat mata, sangsi dan tuahnya terasa menyita harapan hidup. Ditambah lagi oleh adanya birokrasi korup yang menghadirkan HPH, perusahaan tambang, perkebunan dan sebagainya sebagai bemper perampasan hak-hak masyarakat. Alat berat dan doktrin yang ditebarkan aparat pemerintah kepada masyarakat semakin mendorong masyarakat menjauh dari lingkar kehidupan yang dulu mereka rintis, terpojok di hutan-hutan yang kini telah tandus. 


Seribu kepala keluarga membuka ladang, menugal dan bertani, mungkin tidak seberapa luas ketimbang kaplingan HPH yang bergerak sedemikian massif. Berapa sih kemampuan parang, belayung, kapak dan Mandau?. Jika dibandingkan alat berat yang bagai raksasa melindas kampung dan hutan. Dengan dalih pembangunan, kadang kala pemerintah bertindak nyata memiskinkan masyarakatnya sendiri. Dengan dalih pembangunan, masyarakat dininabobokan dengan impian yang menghanyutkan, sementara ketika bangun perut terasa lapar dan tidak ada makan yang bisa dimakan. Sementara penguasa kebingungan menyediakan kantong-kantong baru, karena kantong yang ada sudah tidak muat menampung setoran dari segala penjuru…..

Pak Martinus, satu surat untuk cucunya 
Cucuku, dulu kampung kita ini kaya raya, apa yang kita mau ada di sekitar rumah kita. Babi tinggal berburu sebentar, buah tinggal tunggu jatuh, ikan tinggal tanggung ke sungai, obat tinggal cari di hutan. Tuhan sangat sayang kepada kita, apa yang kita mau disediakan oleh Nya. 

Kini cucuku, jangankan ikan di sungai, tempuyak saja kita harus beli, karena pohon durian telah habis ditebang oleh orang yang datang dengan truk panjang, gergaji mesin yang nyaring bunyinya. Tanaman obat sudah susah di dapat, tabat barito, pasak bumi, akar kuning, penawar sampai, seluang belum entah kemana. Bahkan daun sawang pun semakin langka

Sekarang kalau sakit kita harus ke puskemas, ada tabib berbaju putih yang memeriksa kita sakit apa. Kemudian di beri obat berwarna warni, sakit perut atau sakit kepala kadang obatnya sama. Mantir semakin tersisih, demang semakin tersisih. Upacara adat sudah jarang dilaksanakan, Totoh Numbeng, Balian, Badewa sudah semakin jarang terdengar. Gong dan babun hanya jadi hiasan di rumah-rumah.

Bersiapkan cucuku, hari semakin gelap, masukan ayam, babi dan binatang ternak kita ke dalam kandang. Masukan banih dan pupuan yang masih ada ke dalam lanjung. Besok akan semakin jauh kita berladang, bukan semakin luas kampug kita, tapi karena tidak ada hutan lagi yang menjadi pelindung hidup kita.(Bersambung ke Sedimentasi Kehidupan Masyarakat Barut........)

Sumber Pustaka:
  1. AJ. Nihin. 1990, Membangun Berlandaskan Pada Akar Adat dan Budaya. 
  2. Dames and Moore, Voice of Murung Raya, Environmental and Social Impact Study , 1995. 
  3. Yohansen Borneo, 2012. Mengenal dan Memahami Sejarah asal usul suku Dayak Siang di Kabupaten Murung Raya Kalimantan Tengah. 
  4. DAD Kalteng, 2010. Susunan Dewan Adat Dayak Kalimantan Tengah, 2010. 
  5. Yun Hariadi, 2004. FE Institute. SDA, Masyarakat,dan Perusahaan dalam Lotka-Volterra, Teori Pemanfaatan Sumber Daya Alam Berkesinambungan. 
Penulis adalah Community Development Specialist
Bagikan artikel ini :

Tidak ada komentar:

 
Hak Cipta© 2009-2016. Mardedi H Andalus | Semua hak dilindungi undang-undang.
Link: Facebook.com | Support: Creating Website | Blogger