PALANGKARAYA - Sudah diakreditasi, membuat 120 dari 200 pondok pesantren yang ada di Provinsi Kalimantan Tengah, tersebar pada enam kabupaten induk, mampu bersaing dengan sekolah umum lainnya.
"Kita ada istilah kabupaten induk karena sudah berbasis pondok pesantren lama," kata Kepala Bidang Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren Pendidikan Agama Islam pada Masyarakat dan Pemberdayaan Mesjid (Pekapontren dan Penamas) Kementerian Agama Kalteng, M Ridwan, di Palangkaraya, Rabu.
Menurutnya, ada lima syarat akreditasi ponpes yakni mempunyai santri sekurang-kurangnya dalam kelas 20 siswa, ada kiai atau pimpinan yang mengelola manajemen baik mengelola secara yayasan, pengurus harian, dan akademik.
Selanjutnya harus memiliki asrama atau gedung yang dipakai sebagai tempat belajar dan menginap. Terakhir harus ada pembacaan kitab kuning dan memiliki rumah ibadah minimal mushala.
Bagi pondok pesantren (ponpes) yang belum diakreditasi, pihaknya melakukan manajemen ponpes dan potensi, meskipun anggaran untuk meningkatkan sangat terbatas, sehingga digunakan zona Kapuas, Sampit dan Palangkaraya.
Untuk itu pihak Kementerian Agama selalu melakukan monitoring sampel terhadap ponpres Darul Ulum, Muhajirin dan Radatul Jannah, dalam peningkatan pembelajaran termasuk Wajib Belajar Pendidikan Dasar (wajar dikdas) dan status ponpes.
"Kalau memang mereka anjok akan dihapus bisa diturunkan menjadi Diniyah saja. akan tetapi jika tidak, akan dicatat betul menjadi salafiah wajar Dikdas," jelasnya.
Pendidikan keagamaan di ponpes ada dua yakni pengembangan ponpes salafiah dikdas wajib belajar sembilan tahun dan pengembangan potensi ponpes. Akan tetapi, ujian nasional yang dilakukan berbeda dengan sekolah atau madrasah.
Ujiannya dilaksanakan Februari dan November. Dalam UN wajar diknas ponpes menganut jika tidak berhasil bisa mengulang pada November. "Sangat bagus aturan dari pemerintah dalam hal memberikan kesempatan khususnya bagi warga ponpes," katanya.
Disamping itu juga ada belajar paket, yang disebut warga belajar pondok pesantren dengan paket A, B dan C yang dikhususkan bagi yang tidak berhasil dari jenjang wajar.
Kemudian ada pembelajaran yang disebut Diniyah yakni Diniyah Murni dan Diniyah Takmiliyah. Diniyah Murni, mengkhususkan pendalaman agama sedangkan Diniyah Takmaliyah membantu anak-anak ibitidaiyah yang kurang pengetahuan agama kurang dibantu dengan Diniyah Takmaliyah pada sore hari. Tapi ijazah yang diperoleh tetap menginduk kepada SD atau madrasahnya.
"Masalah ponpes bukan hanya menjadi tanggung jawab Kemenag saja, akan tetapi hendaknya semua pihak dapat membantu dalam pengembangan terutama mengenai alokasi dana, mengingat semuanya ini hanya demi anak bangsa ini pada generasi berikutnya.
"Kita ada istilah kabupaten induk karena sudah berbasis pondok pesantren lama," kata Kepala Bidang Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren Pendidikan Agama Islam pada Masyarakat dan Pemberdayaan Mesjid (Pekapontren dan Penamas) Kementerian Agama Kalteng, M Ridwan, di Palangkaraya, Rabu.
Menurutnya, ada lima syarat akreditasi ponpes yakni mempunyai santri sekurang-kurangnya dalam kelas 20 siswa, ada kiai atau pimpinan yang mengelola manajemen baik mengelola secara yayasan, pengurus harian, dan akademik.
Selanjutnya harus memiliki asrama atau gedung yang dipakai sebagai tempat belajar dan menginap. Terakhir harus ada pembacaan kitab kuning dan memiliki rumah ibadah minimal mushala.
Bagi pondok pesantren (ponpes) yang belum diakreditasi, pihaknya melakukan manajemen ponpes dan potensi, meskipun anggaran untuk meningkatkan sangat terbatas, sehingga digunakan zona Kapuas, Sampit dan Palangkaraya.
Untuk itu pihak Kementerian Agama selalu melakukan monitoring sampel terhadap ponpres Darul Ulum, Muhajirin dan Radatul Jannah, dalam peningkatan pembelajaran termasuk Wajib Belajar Pendidikan Dasar (wajar dikdas) dan status ponpes.
"Kalau memang mereka anjok akan dihapus bisa diturunkan menjadi Diniyah saja. akan tetapi jika tidak, akan dicatat betul menjadi salafiah wajar Dikdas," jelasnya.
Pendidikan keagamaan di ponpes ada dua yakni pengembangan ponpes salafiah dikdas wajib belajar sembilan tahun dan pengembangan potensi ponpes. Akan tetapi, ujian nasional yang dilakukan berbeda dengan sekolah atau madrasah.
Ujiannya dilaksanakan Februari dan November. Dalam UN wajar diknas ponpes menganut jika tidak berhasil bisa mengulang pada November. "Sangat bagus aturan dari pemerintah dalam hal memberikan kesempatan khususnya bagi warga ponpes," katanya.
Disamping itu juga ada belajar paket, yang disebut warga belajar pondok pesantren dengan paket A, B dan C yang dikhususkan bagi yang tidak berhasil dari jenjang wajar.
Kemudian ada pembelajaran yang disebut Diniyah yakni Diniyah Murni dan Diniyah Takmiliyah. Diniyah Murni, mengkhususkan pendalaman agama sedangkan Diniyah Takmaliyah membantu anak-anak ibitidaiyah yang kurang pengetahuan agama kurang dibantu dengan Diniyah Takmaliyah pada sore hari. Tapi ijazah yang diperoleh tetap menginduk kepada SD atau madrasahnya.
"Masalah ponpes bukan hanya menjadi tanggung jawab Kemenag saja, akan tetapi hendaknya semua pihak dapat membantu dalam pengembangan terutama mengenai alokasi dana, mengingat semuanya ini hanya demi anak bangsa ini pada generasi berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar