google.com, pub-5013500952012613, DIRECT, f08c47fec0942fa0
☆BreakingNews >
Home » , , » Membaca Angka Laju Pembangunan Barito Utara (Bagian Pertama)

Membaca Angka Laju Pembangunan Barito Utara (Bagian Pertama)

| Diposting : Selasa, 21 Mei 2013 | Pukul : 20.05.00 |

Dari Cerita Perjalanan Pulang Kampung 
Oleh: Basyori Saini 

TANPA ada janjian, saya dan teman saya yang sama-sama sudah lama tidak pulang kampung ke Muara Teweh, tiba-tiba berjumpa dalam satu bus yang sama. Kaget, kangen dan bahagia bercampur jadi satu. Lupa bahwa kami tengah berada di dalam bus yang juga ada penumpang yang lain, pelukan dan jabat hangat langsung membuka pertemuan kami. Percakapan langsung menjurus pada kondisi masing-masing, kerja dimana, tinggal dimana, berapa anak, kabar keluarga dan banyak hal. Satu hal yang menjadi halangan adalah teman saya ini sudah mulai hilang bahasa Ibu kami, yakni bahasa Bakumpai. Waktu saya mencoba untuk menggunakan bahasa Bakumpai, teman saya agak cengar cengir mencoba menerjemahkan apa yang saya maksud. Maklum tinggal di Jakarta selama lebih dari 15 tahun, sempat kuliah di luar negeri selama 4 tahun menyebabkan rekan saya ini agak kaku lidahnya untuk menggunakan bahasa Bakumpai.

Bus meninggalkan terminal KM 6 tepat jam 8 malam, kami nego dengan penumpang lain agar mau bertukar tempat dengan teman saya. Sehingga kami dapat leluasa melanjutkan cerita remaja kami yang telah lama kami tinggalkan. Saya menceritakan bahwa Muara Teweh sekarang sudah berkembang pesat, pembagunan, perluasan kota, lembaga pendidikan dan infrastruktur sudah sangat jauh berkembang sejak 10 tahun terakhir. Meskipun begitu saya juga menyampaikan bahwa masih ada sisi-sisi kehidupan lain yang masih perlu sentuhan, misalnya kemiskinan yang kasat mata di daerah pedesaan, infrastruktur yang belum berpihak pada pengembangan ekonomi kecil, misalnya pembukaan jalan baru yang menghubungkan desa-desa di pedalaman, jembatan penghubung dan fasilitas pendidikan serta kesehatan di daerah pedalaman.

Sambil memejamkan mata sebentar, teman saya langsung menyambung. Enggak gitu mas Bas, coba sampean baca di web nya BPS Kalteng, Barito Utara itu IPM nya terbaik ke dua lho se Kalimantan Tengah. Jadi kalau masih banyak kemiskinan di Muara Teweh saya nggak percaya. Karena IPM itu sendiri yang dijadikan tolok ukur adalah pendapatan masyarakat, mutu pendidikan, angka harapan hidup dan melek hurup. Begitu teman saya menjelaskan sambil menyodorkan tablet miliknya dengan Web site BPS Kalteng yang masih running on. Coba nih sampean lihat, tahun 2010 yang lalu IPM (Indeks Pembangunan Manusia) Barito Utara itu angkanya adalah 75.15 setelah Palangkaraya yang menduduki peringkat pertama dengan angka 78.30. Angka harapan hidup warga Muara Teweh pun meningkat menjadi 72.04, hebat kan? Lihat lagi, angka melek hurup atau pendidikan hampir sempurna 98.20, yang artinya hampir tidak ada warga kita yang masih buta huruf. Luar biasa….lanjut teman saya.

Benar Om, IPM Barito Utara itu tinggi, tapi nanti kalau kita masuk ke daerah Barito Utara sampean akan temukan masih banyak penduduk kita yang miskin dan belum tersentuh fasilitas umum. Jawab saya agak ketar ketir, karena teman saya ini adalah lulusan magister ekonomi. Jadi saya paham betul bagaimana keilmuanya dan ketajaman analisanya. Bahkan ketika singgah di Ampah untuk istirahat malam, kami masih terhanyut dengan diskusi mengenai Barito Utara, tentu saja campur debat kusir antara kami berdua. Saya tetap kukuh dengan pendapat saya bahwa angka IPM yang ada tidak mencerminkan kenyataan sebenarnya. Saya tidak curiga dengan siapapun, namun saya hanya mencoba memahami apa yang tampak dan terlihat oleh mata saya, tanpa saya koneksikan dengan segala keruwetan ilmu pengetahuan. Apalah saya, bisa bekerja dan membantu orang banyak saja sudah bukan main bangganya. Mau bicara iptek, sarjana saja harus saya tempuh selama delapan tahun, setelah surat peringatan Drop Out (DO) mampir ke tangan saya. Jadi saya harus menahan diri dan lebih banyak berguru kepada teman saya ini.

Bus pun melanjutkan perjalanan, sampai di daerah Kandui Kecamatan Gunung Timang hari sudah pagi, matahari pelan-pelan memancarkan sinarnya menerangi alam raya. Sebagian penumpang masih tertidur di kursi-kursi bus, sebagian lagi ada yang terbangun karena suara hiruk pikuk kendaraan yang lalu lalang di jalan poros tersebut. Teman saya juga tertidur sebentar sampai kami masuk ke daerah Trahean dekat KM 27. Saya mencoba membangunkan dan menjelaskan kepadanya daerah yang kami lewati, agak kaget dia bertanya, mas Bas, ini HPH Austral Byna ya? Masih ada? Kayu di daerah mana yang ditebangi? Berondongan pertanyaan bertubi-tubi diarahkan kepada saya. Saya menjawab semampu saya karena sayapun tidak begitu tahu secara detil tetang HPH yang ditanyakan. Pertanyaan nya belum selesai, ketika tidak lama kemudian kami menjumpai satu keluarga yang berangkat menuju kebun dengan membawa semua keluarganya, anak-anak dan istrinya serta beberapa ekor hewan peliharaan.

Teman saya sampai harus melongok keluar jendela untuk terus melihat, sampai akhirnya dia duduk kembali sambil menghela nafas. Masih ada ya mas warga kita yang bekerja seperti ini? Kalau jam segini anaknya ikut bapaknya ke kebun, berarti nggak sekolah dong dia? Kalau istrinya ikut juga ke kebun berarti rumah mereka siapa yang urus? Kalau satu keluarga seperti itu berapa kemampuan mereka membuka ladang? Berapa pendapatan mereka satu bulan, sementara padi baru bisa dipanen sepuluh bulan lagi? Apa usaha mereka untuk mencukupi kebutuhan dasar mereka sehari-hari? Kalau mereka berladang jauh dari rumah, kalau sakit kemana mereka berobat? Pasti tidak ada bidan desa yang mau tinggal di hutan belantara seperti ini?

Sayup-sayup saya tertidur dan baru bangun ketika teman saya sedikit merajuk karena saya tidak mendengarkan pertanyaannya. Wah sampean gimana, saya bertanya kok malah ditinggal tidur? Selorohhnya. Jam menunjukkan angka delapan pagi, bus sudah parkir terminal bus Pasar bebas Banjir di Dermaga Muara Teweh. Saya berpisah untuk sementara waktu dan berjanji akan bertemu lagi dengan sahabat saya ini, menyelesaikan perbedaan pendapat kami. Siapa tau ada solusi atau titik temu untuk menyamakan persepsi kami tentang membaca angka dan menerjemahkannya.   Dada saya sudah membucah kangen dengan keluarga yang lama saya tinggalkan, dengan bumi ini, dimana saya menghabiskan masa kecil dengan teman-teman saya. Bumi Iya Mulik Bengkang Turan(bersambung ke 
Membuka Lahan, Merintis Hidup).... 

Sumber Pustaka:
1.BPS Kalimantan Tengah, Kalimantan Tengah Dalam Angka 2010
2.Caruniya Mulya Firdausy, Angka Penduduk Miskin cederung Turun, LIPI 2011
3.BPS Barito Utara, Kabupaten Barito Utara Dalam Angka 2010.
4.Basyori Saini, Alumni :
  a.SDN Inpres Mankusari
  b.SMP Negeri 1 Muara Teweh
  c.SMA Nengeri 1 Muara Teweh
  d.Universitas Palangkaraya, Fakultas Pertanian
  e.Guelph University, Ontario Canada. Short course on Regional
    Development Study, Sustainable Development Program, 1997.
  f.Bekerja di PT Cokal sebagai CSR Manager


(Penulis Adalah Community Development Specialist)
Bagikan artikel ini :

Tidak ada komentar:

 
Hak Cipta© 2009-2016. Mardedi H Andalus | Semua hak dilindungi undang-undang.
Link: Facebook.com | Support: Creating Website | Blogger